Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK 69/2015”).

Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Aturan tersebut menjadi dasar dibolehkannya calon pasangan suami istri dan/atau pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan.

Perjanjian dapat dibuat baik sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial agreement) maupun selama dalam ikatan perkawinan (postnuptial agreement).

Selain itu, perjanjian perkawinan diatur pula dalam Pasal 45 sampai Pasal 52 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

  • Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam

Sebelum membahas lebih jauh mengenai kedudukan perjanjian perkawinan dalam hukum Islam, perlu diketahui bahwa setiap perbuatan di dalam hukum Islam dapat ditentukan hukumnya dalam suatu penggolongan.

Penggolongan ini dikenal dengan istilah al-ahkam al-khamsah (penggolongan hukum yang lima).

Imam Syafi’i, yang dikutip dalam buku Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 17) menggolongkan al-ahkam al-khamsah sebagai berikut:

Fardh/wajib, adalah perbuatan yang dilakukan atas perintah. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.

Sunah/mandub, adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar anjuran. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa.

Ibahah atau mubah, adalah kebolehan. Suatu perbuatan boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Baik dikerjakan atau tidak, tidak mendapat pahala atau dosa.

Makruh atau larangan ringan, adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, namun bila dilakukan tidak diancam dengan hukuman atau dosa. Apabila perbuatan tersebut ditinggalkan, maka mendapat pahala.

Haram atau larangan, adalah perbuatan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan maka mendapat pahala.

Perjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk dari perjanjian yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Merujuk pada penggolongan hukum di atas, kegiatan membuat perjanjian perkawinan hukumnya adalah mubah atau boleh, selama tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.

Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 KHI yang mengatur sebagai berikut:

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

Taklik talak, dan

Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Kata ‘dapat’ merujuk pada suatu kebolehan bagi umat Islam untuk membuat atau tidak membuat perjanjian perkawinan, sehingga hukum asalnya adalah mubah/boleh.

Pasal tersebut juga mengatur mengenai bentuk perjanjian perkawinan yang dikehendaki dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

  • Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Islam

Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan yang dimungkinkan dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

  • Taklik talak

Menurut Pasal 1 huruf e KHI, yang dimaksud dengan:

Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.

Dalam hal taklik talak, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:

Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

  • Percampuran harta pribadi

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) KHI yang mengatur sebagai berikut:

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

Pada dasarnya, perkawinan tidak menimbulkan adanya percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam hukum Islam bersifat individual.

Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 86 ayat (1) KHI:

Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

Namun, apabila kedua pihak ingin melakukan pencampuran harta pribadi maka hal tersebut dibolehkan.

  • Pemisahan harta pencaharian

Merujuk pada Pasal 47 ayat (2) di atas, kedua pihak juga dapat mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing selama dalam ikatan perkawinan.

Menurut Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 83), yang dimaksud dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.

Dalam hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (1) KHI.

Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama

Selain itu, kedua pihak juga dapat mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI.

Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Selain mengatur mengenai harta, menurut hemat kami, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan seperti hak dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami, hak asuh anak, dan lain-lain.

  • Apakah Isi Perjanjian Perkawinan Boleh Menyimpangi Hukum Islam?

Apabila merujuk pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

Hal serupa juga dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (2) KHI.

Pasal 46 ayat (1) KHI

Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 47 ayat (2) KHI

Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. 

Dengan demikian, bagi umat Islam, isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Referensi:

Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2014.

Untuk konsultasi lebih lanjut hub:

Telp/wa: 085649703611

PENGACARA KABUPATEN MALANG

Tentang hendrikadvokat123

Dengan integritas tinggi, Tanggung Jawab dengan sigap membantu menyelesaikan masalah hukum anda

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kirim Pesan
Terimakasih telah menghubungi kami
Semoga solusi yang kami berikan bermanfaat.