Kawin Siri
Oleh karena Anda tidak menerangkan secara spesifik mengenai kawin sirinya dilaksanakan seperti apa, maka patut diperhatikan artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan.
Dalam artikel tersebut, diterangkan bahwa kawin siri di masyarakat sering diartikan dengan:
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
2. Pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin), namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam);
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang telanjur menganggap tabu pernikahan siri atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Harta Bersama dalam Ikatan Perkawinan
Kami mengasumsikan bahwa pasangan dan perkawinannya tunduk pada hukum Islam.
Maka, kami akan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan perubahannya serta Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya, KHI menambahkan bahwa harta bersama adalah harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah, yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Mengenai harta bawaan, harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Suami dan istri pun mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
“Perkawinan” apa yang dimaksud? Pasal 2 UU Perkawinan menekankan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harta Bersama dalam Kawin Siri
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Dan untuk mewujudkan hal tersebut, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan yang juga kami kutip di atas, menerangkan bahwa UU Perkawinan dan perubahannya menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh negara terhadap nikah siri, namun akibatnya, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan kata lain, ada kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan.
Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum di hadapan negara.
Dalam artikel Perceraian Kawin Siri, salah satu akibat hukum dengan tidak dicatatkannya perkawinan adalah tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak istri dan anak-anak hasil dari perkawinan siri. Begitu juga untuk melakukan gugatan cerai, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya dan memberi perlindungan atas hak-hak anak dan istri.
Berdasarkan uraian ini, karena perkawinan siri tidak diakui secara hukum, berarti rumah yang Anda maksud yang diperoleh dalam perkawinan siri itu adalah tidak termasuk harta bersama yang dimaksud peraturan perundang-undangan, karena secara hukum tidak pernah ada perkawinan di antara pasangan tersebut.
Terhadap rumah yang Anda maksud, berarti adalah harta bawaan sang pemilik dan bukan harta bersama, sehingga ketika terjadi perceraian, maka secara hukum rumah tidak diperhitungkan dalam pembagian harta bersama.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Putusan:
Putusan Pengadilan Agama Bangil Nomor 1961/Pdt.G/2015/PA.Bgl
[1] Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan
[2] Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan
[3] Pasal 1 huruf f KHI
[4] Pasal 87 ayat (1) KHI
[5] Pasal 87 ayat (2) KHI
[6] Pasal 5 KHI
[7] Pasal 6 KHI
[8] Pasal 7 ayat (1) KHI