Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (“KBBI Daring”), penyitaan berarti proses, cara, perbuatan menyita.
Masih bersumber pada KBBI Daring, istilah sita sendiri diartikan sebagai perihal mengambil dan menahan barang menurut keputusan pengadilan oleh alat negara (polisi dan sebagainya) .
Kemudian M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 282), menerangkan bahwa penyitaan berasal dari terminologi beslag (bahasa Belanda) dan istilah bahasa Indonesia, beslah, yang istilah bakunya adalah sita atau penyitaan.
Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan sampai dikeluarkannya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
Sedangkan tujuan dilakukannya penyitaan ada 2, yaitu (hal. 285 – 286):
- Agar gugatan tidak illusoir
Tujuan utama dari penyitaan adalah agar barang harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli, penghibahan, dan sebagainya maupun tidak dibebani dengan sewa menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga.
Sehingga keutuhan dan keberadaan harta kekayaan tergugat tetap utuh seperti semula agar pada saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, barang yang disengketakan dapat diserahkan dengan sempurna kepada penggugat. Oleh karenanya, gugatan penggugat menjadi tidak illusoir atau tidak hampa.
- Objek eksekusi sudah pasti
Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menjelaskan dan menunjukkan identitas barang yang hendak disita misalnya letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya.
Atas permohonan tersebut, pengadilan melalui juru sita memeriksa dan meneliti kebenaran identitas barang pada saat penyitaan dilakukan. Hal ini secara langsung memberi kepastian atas objek eksekusi apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya menjawab pertanyaan Anda, jenis-jenis sita yang dapat diajukan dalam proses peradilan perdata terdiri dari sita jaminan, sita revindikasi, sita penyesuaian, sita marital, dan sita eksekusi dengan rincian penjelasan sebagai berikut:
1.Sita Jaminan
Dikutip dari artikel Bisakah Menjual Gedung Tempat Barang-Barang yang Dikenakan Sita Jaminan?, Albert Aries berpendapat bahwa sita jaminan (conservatoir beslag) adalah suatu upaya paksa dan merupakan wujud formil dari penerapan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang berbunyi:
Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.
Sudikno Mertokusumo dalam buku Hukum Acara Perdata Indonesia (hal. 93) menyatakan sita jaminan merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.
M. Yahya Harahap dalam buku yang sama (hal. 339) menerangkan bahwa pada pokoknya sita jaminan bertujuan agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan selama proses persidangan berlangsung, sehingga nantinya putusan dapat dilaksanakan.
Kemudian objek yang dapat dimohonkan sita jaminan tersebut antara lain (hal. 341):
Perkara utang piutang yang tidak dijamin dengan agunan tertentu. Sita jaminan dapat diletakkan atas seluruh harta kekayaan tergugat meliputi barang bergerak maupun tidak bergerak;
Objek sita jaminan dalam perkara ganti rugi dapat diletakkan atas seluruh harta kekayaan tergugat. Tuntutan ganti rugi ini timbul dari wanprestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1243 – Pasal 1247 KUH Perdata atau perbuatan melawan hukum dalam bentuk ganti rugi materiil dan imateriil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata;
Sengketa hak milik atas benda tidak bergerak yang hanya terbatas atas objek yang diperkarakan/disengketakan;
Dapat diletakkan pada barang yang telah diagunkan sebelumnya.
Sita Revindikasi
M. Yahya Harahap (hal. 326) menjelaskan sita revindikasi (revindicatoir beslag) termasuk kelompok sita yang mempunyai kekhususan tersendiri terutama terletak pada objek barang sitaan dan kedudukan penggugat atas barang itu:
Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat),
Barang itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan
Permintaan sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri agar dikembalikan kepadanya.
Oleh karena yang meminta dan mengajukan penyitaan adalah pemilik barang sendiri, maka lazim disebut penyitaan atas permintaan pemilik. Jadi, sita revindikasi merupakan upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang yang menguasai barang itu tanpa hak (hal. 326).
Sita Penyesuaian
M. Yahya Harahap dari buku yang sama, menguraikan bahwa barang yang telah disita, tidak boleh disita, tetapi dapat diletakkan sita penyesuaian. Apabila atas permintaan penggugat atau kreditur telah diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag), sita revindicatoir, sita eksekusi (executorial beslag), atau sita marital (maritaal beslag), maka (hal. 317):
Pada waktu yang bersamaan, tidak dapat dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu atas permintaan penggugat atau kreditur lain, sesuai dengan asas bahwa pada waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan 1 kali saja penyitaan terhadap barang yang sama;
Permintaan sita yang kedua dari pihak ketiga, harus ditolak atau tidak dapat diterima atas alasan pada barang yang bersangkutan telah diletakkan sita sebelumnya atas permintaan penggugat atau kreditur terdahulu;
Yang dapat dikabulkan kepada pemohon yang belakangan hanya berbentuk sita penyesuaian.
Sita Marital
Bersumber dari artikel Tentang Sita Marital (Sita Harta Bersama), dijelaskan bahwa sita marital disebut juga dengan istilah sita harta bersama.
Menurut M. Yahya Harahap (hal. 369), sita marital bertujuan utama untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara atau pembagian harta bersama berlangsung.
Masih dari artikel yang sama, sita marital bagi perceraian suami istri yang beragama Islam diatur Pasal 78 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Sita Eksekusi
Bersumber dari buku M. Yahya Harahap Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang (hal. 67).
Sita eksekusi bermakna sebagai pengganti dan jaminan jumlah uang yang diperoleh setelah barang yang disita dijual lelang. Sehingga dapat dipahami bahwa sita eksekusi dilakukan pada tahap proses (hal. 68 – 69):
Perkara yang bersangkutan telah mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap; dan
Penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.
Perlu digarisbawahi bahwa dengan adanya sita jaminan yang telah dilaksanakan terlebih dahulu, maka tahap sita eksekusi menurut hukum dengan sendirinya dikecualikan dan dihapuskan (hal. 69 – 70).
Hal ini dikarenakan pada saat diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi tahap sita eksekusi sebab asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Dasar Hukum:
1. Reglement op de Rechtsvordering;
2. Herzien Inlandsch Reglement;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Referensi:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada 2 Juli 2020, pukul 17.00 WIB;
2. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
3. M. Yahya Harahap. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2014;
4. Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.
Untuk konsultasi lebih lanjut
Hub. Telp/wa: